Bismillah..
Pagi ini saya buka twitter dan lihat ada postingan dari salah satu teman saya yang saya kagumi, yaitu Pak Komti IE-ESP 47 yang keren abis, Teuku Muhammad Al-Kautsar, terima kasih pak, walaupun kita sudah dipisahkan oleh jarak, tapi Bapak masih tetap memberi inspirasi.. hehehe
Isinya cukup mewakili apa yg selama ini saya pikirkan untuk menjawab pertanyaan serupa yang diajukan oleh orang sekitar dan bahkan oleh diri sendiri..
please read with an open mind!
SUMBER: http://kautsarkhan.tumblr.com/post/111533359725/masihkah-ada-dualisme-dalam-beramal
Di sebuah balai pengajian seseorang bertanya kepada sang guru, “Wahai guru, apabila terdapat seorang pengemis datang kepadaku, meminta sedekah. Padahal pernah salah seorang diantara kami menyelidikinya. Kami menemukannya sedang makan, makanannya lebih mewah dari kami, tempat tinggalnya lebih bagus dari kami. Apa hukumnya kami yang memberikan sedekah kepadanya?
“Pengemis seperti itu tidak berhak dan tidak pantas untuk disedekahkan, haram bagi kita memberinya sedekah. Sabda Nabi SAW,
Lalu sang guru menjelaskan lagi, “namun jika datang seorang pengemis yang tidak tahu asal usul pengemis itu, kita pun hendak bersedekah. Buang pikiran dan sikap mempertanyakan apakah dia kaya melebihi kita. Bersedekahlah, ikhlaskanlah, Insya Allah itu dan menjadi amalan bagi kita.”
Selain itu, terdapat juga dalam diri kita cenderung ‘enggan’ dalam berbuat amalan sunnah, mengajak orang lain dalam beribadah, atau mengingatkan sesuatu karena salah. Sifat ini seringkali berdalih pada pandangan orang lain terhadap kita. contohnya kadang dalam diri kita sering berbisik, “ah, nggak enak sedekah banyak-banyak, nanti dibilang riya | kalau ngajak berjamaah ke mesjid atau ke majelis zikir, entar aku dipanggil pak ustad lagi | malas ah ngingatin orang itu, dia kan ilmunya lebih tinggi, nanti dianggap sok alim | …”
Padahal Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abu Ali Fudhail bin ‘Iyadh:
Ibadah yang ingin diperlihatkan kepada manusia memang itu riya, malah menjadi syirik. Tetapi ibadah yang tidak ingin diperlihatkan karena manusia itu juga riya. Sudah seharusnya dalam beramal tak perlu mengharap pujian, memikirkan komentar, dan memikirkan status apalagi mengharapkan simpatisan karena amalan kita. buang pikiran dan sikap menjanggal karena manusia. Cukup kita mengerjakan karena Allah, dan memperbaiki diri karena Allah.
Semoga bermanfaat.
Selengkapnya >>
Pagi ini saya buka twitter dan lihat ada postingan dari salah satu teman saya yang saya kagumi, yaitu Pak Komti IE-ESP 47 yang keren abis, Teuku Muhammad Al-Kautsar, terima kasih pak, walaupun kita sudah dipisahkan oleh jarak, tapi Bapak masih tetap memberi inspirasi.. hehehe
Isinya cukup mewakili apa yg selama ini saya pikirkan untuk menjawab pertanyaan serupa yang diajukan oleh orang sekitar dan bahkan oleh diri sendiri..
please read with an open mind!
Masihkah Ada Dualisme dalam Beramal
SUMBER: http://kautsarkhan.tumblr.com/post/111533359725/masihkah-ada-dualisme-dalam-beramal
Di sebuah balai pengajian seseorang bertanya kepada sang guru, “Wahai guru, apabila terdapat seorang pengemis datang kepadaku, meminta sedekah. Padahal pernah salah seorang diantara kami menyelidikinya. Kami menemukannya sedang makan, makanannya lebih mewah dari kami, tempat tinggalnya lebih bagus dari kami. Apa hukumnya kami yang memberikan sedekah kepadanya?
“Pengemis seperti itu tidak berhak dan tidak pantas untuk disedekahkan, haram bagi kita memberinya sedekah. Sabda Nabi SAW,
”Meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga golongan: orang fakir yang sangat sengsara (dzi faqr mudqi’), orang yang terlilit utang (dzi ghurm mufzhi’), dan orang yang berkewajiban membayar diyat (dzi damm muuji’).”(HR Abu Dawud no 1398; Tirmidzi no 590; Ibnu Majah no 2198). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 194).
Lalu sang guru menjelaskan lagi, “namun jika datang seorang pengemis yang tidak tahu asal usul pengemis itu, kita pun hendak bersedekah. Buang pikiran dan sikap mempertanyakan apakah dia kaya melebihi kita. Bersedekahlah, ikhlaskanlah, Insya Allah itu dan menjadi amalan bagi kita.”
Selain itu, terdapat juga dalam diri kita cenderung ‘enggan’ dalam berbuat amalan sunnah, mengajak orang lain dalam beribadah, atau mengingatkan sesuatu karena salah. Sifat ini seringkali berdalih pada pandangan orang lain terhadap kita. contohnya kadang dalam diri kita sering berbisik, “ah, nggak enak sedekah banyak-banyak, nanti dibilang riya | kalau ngajak berjamaah ke mesjid atau ke majelis zikir, entar aku dipanggil pak ustad lagi | malas ah ngingatin orang itu, dia kan ilmunya lebih tinggi, nanti dianggap sok alim | …”
Padahal Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abu Ali Fudhail bin ‘Iyadh:
"Tidak beramal lagi karena manusia adalah RIYA. Beramal karena manusia adalah SYIRIK. Apabila kamu beruntung mendapat pemeliharaan Allah dari keduanya, itulah namanya IKHLAS"(Dari Terjemah Kitab Al-Adzkar, Imam an-Nawawi)
Ibadah yang ingin diperlihatkan kepada manusia memang itu riya, malah menjadi syirik. Tetapi ibadah yang tidak ingin diperlihatkan karena manusia itu juga riya. Sudah seharusnya dalam beramal tak perlu mengharap pujian, memikirkan komentar, dan memikirkan status apalagi mengharapkan simpatisan karena amalan kita. buang pikiran dan sikap menjanggal karena manusia. Cukup kita mengerjakan karena Allah, dan memperbaiki diri karena Allah.
Semoga bermanfaat.